“Bermimpilah ! Maka Tuhan akan memeluk mimpi mimpimu.” Aku katakan itu dihadapan anakku. Ia terbengong. Memandangku, tanpa ekspresi pemahaman sedikitpun. Aku sadar, ia tak mungkin mampu mencerna apa yang kuucapan. Karena memang otak kanan dan kirinya masih dalam taraf perkembangan.
Sengaja aku mengucapkan, meski aku tahu ia tak akan memahami. Tetap saja kujejalkan banyak untaian kata emas, dari orang orang hebat. Konon, di usia emas anak, yaitu umur 0-5 tahun adalah masa pertumbuhan otak sangat intensif. Apapun yang anak dengarkan, apapun yang anak rasakan dan apapun yang dilihat, akan diserap. Lalu ditanam erat di alam bawah sadarnya.
Deretan kata kata inda bak mantra, sarat akan makna. Kuyakini kebenarannya dengan sangat. Bukan sebuah taqlid buta, melainkan keyakinan penuh rasionalitas. Berpuluh tahun karunia umur ini bersama raga, beribu kali rasanya ungkapan itu terbukti.
Nduk, ketahuilah bahwa syair diatas diucapkan oleh orang kampung. Sama dengan kita, yang berasal dan tinggal di bantaran Kali Ciliwung. Ia terlahir di pedalaman Pulau Belitung. Pengarang buku yang menginspirasi Indonesia, karyanya bapak baca berulang ulang. Novel berjudul Laskar Pelangi adalah karya terbaiknya.
Jika suatu saat kamu melihat filmnya di youtube ataupun CD, ketahuilah bahwa film itu terinspirasi dari kisah nyata. Kehidupan yang sebenaranya, ditulis oleh Andre Hirata. Tulisan luar biasa itu adalah wujud terimakasih pada sahabat dan gurunya.
Sama halnya dengan tulisan ini. Sengaja dirangkai huruf demi huruf dan kata demi kata. Setiap hari, disela waktu bekerja dan main denganmu. Tidak ada maksud lain kecuali ingin mengabadikan momen terindah kita. Jika orang orang kaya mengabadikan dalam foto dan film, bapak mengabadikannya dalam buku.
Buku adalah jendela ilmu. Buku adalah lambang itelektualitas. Cerminan isi otak, sekaligus simbul peradaban. Membaca buku laksana menaiki mesin waktu. Kita bisa terbang kemanapun di belahan dunia ini. Kita bisa bertemu dengan siapapun orang yang diharap.
Kelak, disaat bapak tidak ada lagi, semoga tulisan ini mampu menjadi penawar rindumu. Serta menjadi bahan kamu mendongeng. Bukti pada anakmu bahwa bapak dan ibu sangat mencintaimu. Tak salah apabila dikatakan bahwa menulis itu adalah bekerja untuk keabadian.
Ada sebuah mimpi bapak yang perlu kamu tahu. Sewaktu umurmu 12 atau 13 bulan, kamu pernah bapak ajak ke rumah Mbah Mitun. Aku yakin kamu tidak mampu mengingatnya. Sengaja ditulis disini, agar suatu saat kelak kamu bisa membaca, bertanya ataupun mencari jejak.
Mbah Mitun adalah sosok luar biasa. Perempuan bersahaja yang tinggal di daerah Klopo Duwur – Blora. Sebuah kampung di tengah hutan jati, dimana tempat gerakan Saminisme berkembang untuk pertama kali. Gerakan ini muncul setelah perang jawa berakhir. Yaitu ketika Pangeran Diponegoro berhasil diperdaya, dikhianati dan kemudian ditangkap oleh penjajah kolonial. Hingga meninggal pada usia 69 tahun di tanah pengasingan, Makasar.
Saminisme digelorakan oleh Samin Surosentiko, orang Blora memanggilnya mbah Samin. Bedanya, gerakan ini tidak dilakukan dengan mengangkat senjata. Melainkan perlawanan dengan pembangkangan. Tidak mau mengikuti atau berkerjasama dengan pemerintah kolonial Belanda. Karena gerakan ini tumbuh subur, diterima masyarakat kampung dan menyebar sangat luas, akhirnya Mbah Samin ditangkap. Diasingkan ke Padang hingga akhir hayatnya.
Kelak kamu harus tahu dimana rumah Mbah Mitun dan Mbah Samin. Jika salah satunya dalah pahlawan, ketahuilah bahwa yang satunya adalah buyutmu.
Mbah Mitun adalah istri kedua buyutmu, R. Soekardi. Meski tak memiliki keturunan, kamu mesti harus tetap hormat. Karena aku dan kakekmu dulu dirawat beliau hingga dewasa. Tak berlebihan jika orang di kampung leluhurmu berprinsip “mikul duwur, mendem jero. Mengingalah kebaikan orang lain dan lupakanlah seluruh keburukannya.”
Hutang nyawa dibalas nyawa, hutang uang dibalas uang, dan hutang budi hanya bisa dibayar dengan budi. Itulah hukum qishos. Bapak dan kakekmu sangat berhutang budi pada beliau. “Utang roso,” kata orang jawa.
Satu hal yang paling bapak suka dari rumah Mbah Mitun adalah prinsip hidupnya. Suatu saat Mbah Mitun berpesan, beberapa hari sebelum menunaikan ibadah haji, “Nek kowe nggawe omah, ojo lali nggawr langgar yo le…” Entah mengapa, tiba tiba saja kata itu tak bisa lekang dari ingatan.
Tepat didepan rumah Mbah Mitun ada langgar kecil tempat orang kampung menegakkan sholat. Di tahun pertamamu menghirup udara diluar kandungan, kamu pernah bermain disana. Bapak biarkan kamu tiduran diatas tikar tua. Mengacak acak perabotan yang ada. Disaat menggendongmu, bapak memimpikan memiliki sebuah rumah dengan musholla kecil didepannya.
Kulirik anakku yang masih asik bermain puzzle. Aku tak tahu apa yang ada dibenaknya. Bahkan aku pun tak mengerti, apakah Kiky mendengarkan ocehanku atau tidak. Meski diam dengan posisi tiduran tengkurap disampingku. Rupanya puzzle puzzle bergambar kucing dan anjing lebih menarik dibanding ocehanku yang gak jelas.
Nduk, InsyaAllah dalam beberapa hari kedepan kita memiliki musholla. Tak seberapa luas memang, tapi cukuplah untuk beberapa orang sholat berjama’ah. Nanti bapak akan menamai “Langgar Arrizkya.” Sesuai nana depanmu. Rizkya adalah nama yang sangat indah dan bersejarah. Itu adalah namamu hasil pemberian Nenekmu. Dan kelak akan menjadi nama mushollah di RT kita.
“Apa pak ? Rizkya ” anaakku tiba tiba menyahut, menghentikan ocehanku. Saat kutoleh, ternyata dia masih saja asik memainkan puzzle. Aku tak menjawab clemongan anakku, membiarkannya tetap asik dengan permainan asah otaknya.
Entah apa yang menyebabkan Kiky menyahut, memotong ocehanku. Boleh jadi karena namanya disebut, atau barangkali itu hanya lontaran kata tanpa makna. Yang terucap begitu saja.
Tetiba ada perasaan aneh di benakku. Menjalar, memaksa senyumku tiba tiba mengembang sendiri. Kini anganku menggantikan, membawa mimpi mimpi semakin jauh berkelana. Bersama kebahagiaan yang tak mampu kurangkai dengan deretan kata.
“Kapan langgare dadi pak ?” suara istriku dari arah belakang terdengar nyaring. Tidak hanya mengagetkan, melainkan juga mengembalikan kesadaranku yang hilang dibawa lamunan. Entah sudah berapa lama dia disitu. Aku pikir dikamar ini hanya ada aku dan Kiky berdua, ternyata ada istriku. “Embuh kuwi Mas Kuwat. Tukange sendirian, jadi rodo suwe mergawene. Mungkin minggu depan wis dadi. Sesuk rencanane ngecert.” Jawabku sekenanya.
“Oh.., yo wis.” Jawab istriku singkat. “Kowe ngajar ngaji meneh ya bu…?! Kiky karo kanca kancane ben ngaji ning langgare dewe wae.” Kataku sedikit merayu. Mengharap istri mau mengulangi pekerjaannya yang dulu, mengajar mengaji anak anak.
Numpang nge teh pak
Monggo…
mamapir kemari, salam perkenalan ya pak ^_^
siap, terimakasih sudah mapir.