Blora. Hari Jum’at 9 Januari 2015 adalah tanggal paling bersejarah. Bukan saja buatku, melainkan pula buat anak, istri, kakak, adik, ibu dan seluruh keluarga besar kami. Hari yang tak akan pernah kami lupakan, selama hayat masih dikandung badan.
Sayup sayup dari labirin otakku terngiang syair lagu. Engkau telah mengerti hitam dan merah jalan ini. Keriput tulang pipimu gambaran, perjuangan. Bahumu yang dulu kekar, legam terbakar mata hari. Kini kurus dan membungkuk.
Dalam hening diantara sayup lantunan tahlil aku merindukanmu. Untuk bercengkerama bersama, mengisi hari hari penuh keindahan. Tawamu, senyummu, kesabaranmu, bahkan marahmu pun ku rindu.
Semanagatmu tak pernah memudar, meski langkah gemetarmu menapaki anak tangga masjid Taqwa masih jelas kuingat.
“Mbah kung kok gak bangun bangun pak ?” tanya anakku memecah keheningan. Memaksaku tersadar. Menghentikan air mata yang hendak menetes. Mengembalikan kesadaranku untuk menerima suratan Ilahi.
“Iya nduk, mbah kung sakit.” jawabku terbata, menahan tangis.
“Mbahnya sakit ya ? Kok gak bangun bangun sih pak ? Ayo mbah banguuun… Kiky mau jalan jalan sama mbah, naik odong odong dan main petasan.” Celotehan Kiky membuat hatiku semakin pilu. Kuraih tubuh mungilnya, memeluk, membelai dan mencium rambutnya.
“Nduk… cium mbah nduk. Mbahnya sakit, mbahnya sedang bobok. Cium embah nduk…” Kata kata ku bergetar, menahan tangis yang hampir tumpah. Meminta anakku untuk mencium kakeknya untuk yang terakhir kali, sebelum jenazahnya dimandikan, dikafani dan dikuburkan.
***
Malam harinya. Saat seluruh saudara, sahabat dan tetangga pulang. Hanya ada kami keluar inti. Satu persatu diantara kami selesai bersimpuh, bertahlil dan memanjatkan do’a. Satu persatu diantara kami mulai tertidur karena kelelahan.
Kembali lagu itu sayup sayup menghampiri. Entah itu nyata, atau hanyalah halusinasi. Ayah….. Dalam hening sepi kurindu. Untuk… Menuai padi milik kita. Tapi kerinduan hanya tinggal kerinduan. Anakmu sekarang banyak menanggung beban.
Awalnya hanya sebutir tetesan airmata bisa kurasa melewati pipi untuk kemudian terjatuh. Tak butuh waktu lama, tetesan demi tetesan membasahi sajadah tempatku bersimpuh.
Dihadapan Tuhan aku berharap. Semoga segala amal baiknya diterima. Segala kesalahan diampunkanNya. Berharap dengan sangat, memohon, dan berjanji pada Tuhan akan melakukan apapun demi diterimanya ruh bapak. Ditempatkan pada sebaik baik tempat, yaitu syurga.
Inilah kali pertama aku kehilangan orang tercinta. Malam itulah saya baru memahami makna kata “Mikul dhuwur, mendem jero”. Mengingat ingat segala kebaikan dan melupakan selamanya apabila ada kesalahan.
Turut berduka mas. Yang tabah ya menghadapi cobaan ini.
RIP.
Semoga di tempatkan yang terbaik di sisiNya.
2 kali saya menangis sehari semalam, pertama kehilangan ayah. Kedua kehilangan putri pertama.
“Mikul dhuwur, mendem jero”.
Hidup terus berjalan, yang sabar dan tabah.
Mikul dhuwur mendem jero itu artinya menjunjung tinggi sesuatu yang baik tapi menyimpan rapat-rapat sesuatu yang tidak perlu diketahui orang.
ok seeep
Begitu berat mas, saya menangis saat membuka kain kafannya di liang lahat. Melihat dan menciumnya untuk terakhir kali.
Innalillaahi wa innaailaihi raajiuun. Turut berduka cita ya Mas. lama gak maen ke sini trus baca berita duka. Semoga almarhum diberikan tempat terbaik di sisi Allah Mas.
hehe… terimakasih
Innalillahi wa inna ilaihi rooji’un.
terimakasih pak
Innalillahi wainna ilaihi roji’un.
Allahumaghfirlahu warhamhu wa afi’i wa’fuanhu. Aamin
terimakasih yah
Nggak pernah berkunjung ke lapak sy ih sekarang 😐
Nanti berkunjung, maaf nih… kerjaan banyak banget.
Inna lillahi wa inna ilaihi roji’uun. InshaAlloh khusnul khotimah amiiin. Saya turut berbelasungkawa Pak.
terimakasih pak…
Innaalillaahi wa innaailaihi raajiuun.
allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fu ‘anhu
Terimakasih
Innalillahi… mudah2an beliau ditempatkan ditempat yang terbaik pak Sarib
Amien, terimakasih banyak